Siang itu, di bawah terik matahari
seorang anak laki-laki berpakaian lusuh dengan membawa tas berisi beberapa
koran, dengan semangat mengayuh sepedanya. Tanpa kenal lelah, anak itu mengayuh
sepedanya melewati jalan raya, perkampungan, dan gang sempit. Beberapa kali,
dia tampak berhenti di depan rumah tertentu lalu melemparkan koran. Ya,
begitulah kegiatan sehari-hari anak pengantar koran itu. Nama anak itu adalah
Mitro. Tak seperti anak seusianya yang seharusnya menuntut ilmu di sekolah,
setiap hari Mitro harus rela bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Perlahan
langit yang cerah berganti mendung. Sehingga tak lama kemudian, hujan pun
turun. Hujan yang bertambah deras memaksa Mitro untuk berteduh di pintu gerbang
sebuah rumah. Tas tebal miliknya tak mampu menahan air hujan sehingga membasahi
koran-koran dagangannya. Tiba-tiba dari dalam rumah tempat Mitro berteduh
keluar seorang anak, umurnya kira-kira sebaya dengan Mitro. Rupanya anak itu
merasa kasihan melihat Mitro kehujanan. Ia lalu mengajak Mitro berteduh di
dalam rumahnya. Akan tetapi, Mitro menolak ajakan anak itu. Sambil menunggu
hujan reda, anak itu menemani Mitro berteduh. Mereka berdua bercakap-cakap dan saling
memperkenalkan diri. Nama anak itu adalah Amir.
Sejak
perkenalan di hari hujan itu, Amir dan Mitro mulai akrab. Terkadang setelah
pulang sekolah Amir mengajak Mitro bermain bersama. Amir juga mengajari Mitro
membaca dan menulis, karena Mitro buta huruf dan tidak sekolah. Mitro selalu
memperhatikan dengan sungguh-sungguh saat Amir mengajarinya. Salah satu
kegemaran mereka berdua adalah membaca buku cerita. Amir meminjamkan beberapa
buku ceritanya kepada Mitro. Mitro dengan semangat belajar hingga kini dia
sudah lancar menulis
Hari
itu, seperti biasa sepulang sekolah Amir datang ke rumah Mitro untuk
meminjamkan beberapa buku cerita miliknya. Ketika mereka berdua sedang asyik
bermain, sebuah mobil, yang tak lain adalah mobil ayah Amir, berhenti tidak jauh
dari tempat mereka duduk. Seketika itu juga Ayah Amir menyuruh Amir pulang,
beliau tidak suka Amir bermain dengan Mitro dan melarangnya.
Sejak
kejadian itu Mitro tidak pernah lagi bermain bersama Amir. Mitro tidak ingin
Amir kena marah orang tuanya lagi. Hingga pada suatu siang setelah Amir selesai
mengantarkan koran, ia memutuskan untuk lewat di depan rumah Amir, karena rasa
kangen yang begitu besar terhadap sosok Amir. Selain itu, Mitro juga bermaksud
mengembalikan buku cerita kancil yang sudah lama di pinjamkan oleh Amir.
Setelah sampai di pintu gerbang, alangkah terkejutnya Mitro ketika mendapati
rumah Amir tampak kosong dan sepi. Di pintu gerbang tinggi itu tampak
tergantungkan papan kayu bertuliskan “Rumah ini disita”.
Hari-hari
kembali dijalani Mitro sebagai pengantar koran. Dia tak pernah putus asa,
selalu bekerja keras demi meraih masa depan. Berkat kerja keras Mitro, sekarang
dia mempunyai sebuah toko buku bernama “Kancil”. Mitro tak lagi menjadi
pengantar koran keliling, tetapi sekarang dia menjadi agen koran.
Di malam yang hujan, ada seseorang
datang ke toko buku Mitro untuk melamar pekerjaan. Orang itu tampak tidak asing
lagi bagi Mitro. Amir, ternyata Mitro masih mengenali teman kecilnya dulu. Tak
di sangka olehnya, Amir yang dulu selalu membantu di saat dia kesusahan, kini
melamar pekerjaan di Tokonya. Rupanya sejak Amir kecil dulu, rumahnya di sita
karena ayahnya terjerat hutang. Mereka
berdua saling bertatap-tatapan saling keheranan. Nampaknya dunia memang telah berputar.
Kini Mitro dan Amir menjalani kehidupan membesarkan Toko Buku Kancil bersama-sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar