Satu Lagi Misteri Terpecahkan
Karya Fanny Kartika Fajriyani
Siang
itu seperti biasa aku berjalan menusuri trotoar seorang diri menuju terminal
pemberhentian bus yang lumayan dekat dari sekolah. Aku lebih memilih jalan kaki
dengan pertimbangan menghemat biaya, sekalian bisa berolahraga menikmati
indahnya Kota Salatiga pada siang hari.
“Nelsa!”
Terdengar
suara seseorang memanggilku dari belakang. Suara yang sudah tidak asing lagi di
telingaku.
“Hai
Greyson!” Aku menoleh ke belakang, kulihat Greyson berlari tergopoh-gopoh
dengan seragam putih abu-abunya mendekat ke arahku. Rambutnya berantakan
tertiup angin.
“Tunggu
dong!” teriaknya sambil mencoba meraih lalu menepuk pundaku, nafasnya
tersengal-sengal.
“Aduh
kamu payah. Ayo cepat dong jalannya!” godaku sambil setengah meledek berlari
meninggalkannya.
“Siapa
suruh kamu jalan cepat-cepat! Awas ya kalau kau bisa aku tangkap nanti!” Jawab Greyson
sambil mulai setengah berlari mencoba mengejarku. Dia tampak kesal dengan tas
ranselnya yang berat,sehingga membuatnya sulit berlari. Haha lucu sekali
tingkahnya, pikirku.
Ya
begitulah aku dan Greyson sudah berteman akrab sejak kanak-kanak, kami satu SD.
Setelah lulus SD kami meneruskan ke SMP yang sama. Ketika Greyson kelas 8, dia
pindah rumah yang kebetulan masih dekat dengan rumahku. Sejak itulah kami mulai
akrab. Hampir setiap hari kami pulang bersama. Aku selalu menganggap Greyson
adalah kakakku, karena aku adalah anak tunggal, yang menginginkan seorang adik
sehingga hari-hariku tak terasa sepi. Akan tetapi, aku sudah cukup bersyukur
karena mempunyai teman sebaik dan sepintar Greyson.
Setelah
sampai di perempatan lampu merah Greyson membimbingku untuk menyebrang jalan.
Lalu kami menaiki salah satu bus yang masih cukup kosong. Buukk! Lagi-lagi
kepala Greyson terbentur dinding saat masuk ke dalam bus. Wajahnya merah
meringis menahan sakit. Tingkah lucunya membuatku hampir tertawa, tetapi tidak
jadi karena kasihan melihat Greyson yang kesakitan. Greyson memang ramah pada
semua orang, tak heran dia memiliki banyak teman di sekolah. Belum lagi
perawakannya yang memiliki wajah imut, mirip artis Hollywod, Greyon Chance. Dia
sedikit lebih tinggi dariku.
Setelah
turun bus kami masih harus berjalan kaki kira-kira 1 km lagi melewati kompleks
perumahan yang masih jarang penduduknya. Rumah aku dan Greyson memang jauh dari
jalan raya dan keramaian kota. Walaupun begitu aku tidak merasa keberatan harus
berjalan jauh setiap hari, karena ada Greyson yang selalu menemaniku saat
pulang sekolah dan membuatku tersenyum.
“Hai
Nelsa, lihat deh ada nenek pintal!” Canda Greyson sambil menunjuk sebuah rumah
kosong tepat di sebelah rumahku. Kulirik rumah kosong dengan halaman luas itu, rumput-rumput liar mengelilingi rumah,
menambah kesan misterius dari rumah tersebut. Kulihat dari luar saja sudah
terasa hawa misterius dari rumah tersebut, batinku.
“Ah
mana ada hantu. Ingat Den, ini tahun 2012, enggak jaman lagi suzana
kawan-kawannya” Jawabku mencoba melawan rasa takut.
Aku
berlalu tak menghiraukan rumah tak berpenghuni tersebut, membelok ke sebuah
rumah dengan gerbang yang cukup tinggi. Ya, itulah rumahku, dicat warna-warni,
di depannya ada taman kecil yang membuat sejuk suasana sungguh kontras dengan
rumah kosong di sebelahnya.
Jam
tepat menujukan pukul 23.30, tetapi aku belum juga tidur. Masih ada beberapa PR
yang belum kukerjakan, belum lagi harus menghapal materi ulangan ekonomi untuk
besok. Di tengah malam sendirian di kamarku masih mengerjakan serentetan
soal-soal kimia sambil asyik mendengarkan musik lewat headset pribadiku.
Krett...
Krett... Tiba-tiba terdengar suara aneh
yang tak begitu jelas, entah dari mana asalnya.
Mendadak bulu kuduk ku merinding. Kulepaskan headsetku sehingga dapat mendengar bunyi aneh itu dengan jelas.
Kret... Kret! Suara itu terdengar lagi. Kini jelas sekali terdengar, dapat kupastikan asal suara itu dari rumah
kosong di sebelah berada 5 m dari dinding kamarku. Seperti suara mesin jahit
dan alat pemotong kain yang tebal.
Meskipun
rumah kosong itu terpisahkan oleh dinding pagar beton yang cukup tinggi namun
aku masih bisa cukup mendengar suara itu dengan jelas. Mendadak aku teringat
akan kisah-kisah Greyson siang tadi, tentang rumah kosong itu dan hantu
penunggunya. Hantu pemintal, pikirku. Kata penduduk sekitar penunggu rumah tua
itu adalah seorang hantu nenek-nenek. Lucu sekali pikirku, bukannya selama ini
aku tidak pernah percaya akan keberadaan hantu aneh itu, sekarang aku malah
ketakutan sendiri dengan imajinasiku. Batinku mencoba menenangkan diri dan mulai
meneruska mengerjakan tugas kembali. Kret.. Kret.. Suara itu terdengar kembali.
Kali ini suaranya sangat memekikan telinga, membuat telingaku sakit. Mendadak
tubuhku diserang rasa ketakutan yang luar bisasa, hingga akhirnya aku terbangun
di pagi hari.
“Sial!
Aku tertidur semalam, bagaimana ini PR ku belum selesai semua.” Aku mulai
berbicara sendiri.
Paginya
di sekolah kuceritakan semua yang kualami malam itu pada Greyson. Greyson
nampak terkejut tak percaya.
”Apa?
Mana mungkin ada suara, rumah itu kan kosong!
Kamu coba menakut-nakuti aku?” kata Grey, setengah tidak percaya.
“Aku
serius ! Bukankah kamu juga pernah mengatakan bahwa rumah itu berhantu?”
Jawabku berargumen membela diri.
“Ya,
tapi itu hanyalah bualan penduduk desa untuk menakut-nakuti anaknya supaya tidak
bermain pada malam hari?” jawab Grey menanggapi dengan bijak.
Mendengar
pernyataan Greyson bahwa cerita itu hanya bualan penduduk kompleks Kenanga, aku
menjadi lega. Sedikit menghilangkan pikiran negatif tentang rumah tak
berpenghuni itu.
Malam
berikutnya aku sengaja tidur lebih awal untuk menghidari suara-suara aneh malam
lalu. Sudah kuhapuskan semua bayang-bayang tentang rumah tak berpenghuni di
sebelah. Tiba-tiba aku terbangun di tengah malam karena mendengar sayup-sayup
suara tangisan anak kecil. Kulirik jam dinding di kamarku menunjukan pukul
21.30. Suara tangisan anak kecil itu mulai terdengar dengan jelas. Aku mulai
ketakutan setengah mati. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi sekujur
tubuhku. Aku hanya memejamkan mataku sambil berbaring tertutup selimut di
tempat tidur. Mesikpun aku yakin suara itu nyata, aku tidak berani berbuat.
Hanya bisa diam dan mencoba tidur. Mulutku mulai komat-kamit mulai menenangkan
diri. Hingga aku kembali tertidur, tak menghiraukan suara-suara aneh itu.
Matahari
pagi membangunkanku, menghapus semua kenangan tentang malam-malam yang
mencekam. Aku segera bersiap-siap ke sekolah. Hari ini ayah sedang pergi ke kota
sehingga tidak ada yang mengantarku ke sekolah, maka aku harus bangun lebih
awal dan berangkat ke sekolah sendiri. Hari masih terlalu pagi ketika aku
menyusuri jalan di kompleks kenanga. Hari masih berkabut, hawa dingin mulai
menyusup ke baju seragam putih abu-abuku, segera kurapatkan jaketku untuk
menangkal rasa dingin. Aku kembali melewati rumah seram tak berpenghuni itu. Kuberanikan
diri untuk melewatinya karena terpaksa.
“Sejauh
ini tidak ada sesuatu yang terjadi” Pikirku tenang.
Kulihat
kembali rumah kosong itu, tampak menyermakan sekali, “Tunggu dulu, apa itu? “
Kulihat dua orang anak kecil sedang berlarian di halaman belakang rumah tua.
Aku tidak percaya dengan apa yang dilihat mataku sendiri. Berulangkali kucubit
tanganku sendiri, memastikan bila ini bukan mimpi, tetapi sia-sia itu nyata.
Tidak begitu jelas kulihat karena jarak antara aku beridiri degan kedua anak
setan itu cukup jauh ditambah lagi kabut pagi masih tebal. Menyadari bahwa ada
orang yang mengintai mereka kedua memandangiku dengan heran sesaat lalu
berlarian masuk ke dalam rumah tua lewat pintu belakang.
“Tuyul
ataukah makhluk apa mereka itu?”batinku dalam hati, kupercepat jalanku hingga
setengah berlari sampai rumah itu tak terlihat lagi.
Sampai
di sekolah aku menjadi sering melamun memikirkan hal yang ganjil tentang rumah
tersebut. Kuceritakan semua kejadian yang aku alami seharian kepada Grey, akan
tetapi percuma Grey tidak percaya dan
selalu menganggapku berkhayal.
“Aku
yakin tadi yang aku lihat adalah tuyul!” ceritaku kepada Grey.
“Ah
kamu ini, mana ada tuyul. Haha” Grey malah menertawakanku. “Okay kalau begitu
nanti sepulang sekolah kita akan masuk kerumah itu memastikan apa yang terjadi
sebenarnya.” kata Grey.
Kini
kami sudah sampai di depan rumah tua itu, suasana kompleks sepi karena warga
masih bekerja. Kami berdua pun berjalan memasuki gerbang rumah dengan
halaman yang cukup luas itu. Rerumputan
liar seperti menghalangi jalan masuk kami ke rumah tersebut. Ku beranikan diri
untuk menyelidiki tentang hantu rumah tua. Rumah tersebut penuh dengan debu dan
sarang laba-laba, sepertinya memang sudah bertahun-tahun rumah itu kosong.
Belum sampai sepenuhnya masuk ke dalam pintu gerbang terdengar suara tertawa
anak-anak, suara itu jelas sekali terdengar dari halaman belakang rumah tua
tersebut. Mendengar suara aneh itu lagi aku berbalik ke belakang memutuskan untuk
cepat-cepat lari karena saking ketakutan. Belum sempat kakiku bergerak tanganku
segera ditarik Greyson agar tetap berada di situ.
“Ayolah,
kalau kita tidak masuk kesana, bagaimana kita bisa mengungkap tentang misteri
rumah tersebut” ujar Grey meyakinkan.
Terlihat
lagi dua orang anak kecil berlarian di halaman belakang. Melihat itu aku segera
menutup mata dengan kedua telapak tanganku. Dengan sigap Grey berlari ke
halaman belakang mengejar kedua anak tersebut. Anak-anak tersebut berusaha lari
dengan cepat seakan mereka ketakutan sekali. Dan happ! Tangan Grey berhasil
mencengkeram kedua anak tersebut. Setelah yakin bahwa mereka adalah anak-anak
biasa bukan tuyul aku menghampiri Grey.
“Nelsa
apa benar ini dua anak yang kaulihat tadi pagi?” tanya Grey
“Iya,
tidak salah lagi, mengapa kalian berdua bermain di rumah angker ini?” tanyaku
kepada kedua anak itu. Kakak beradik membisu tak menjawab
pertanyaan-pertanyaanku.
“Lepaskan
mereka!” Seru seorang ibu yang keluar dari pintu belakang rumah tua tersebut.
Aku
melihat dari ujung rambut hingga ujung kaki perempuan misterius itu. Sepertinya
aku kenal dia.
“Bu
Minah! Apa anda benar Bu Minah penjual Rujak di ujung Jalan Kenanga?” Tanyaku
dengan nada yang sedikit terkejut.
“Ya,
saya bisa menjelaskan semuanya, tolong jangan sakiti anak-anak” Pintanya kepada
Grey. Grey melepaskan kedua anak balita tersebut, mereka berlarian bersembunyi
di belakang tubuh ibunya.
Bu
Minah lalu menjelaskan mengapa dia tinggal di rumah ini. Rupanya dia diusir
oleh suaminya. Aku sering mendengar bahwa suami Bu Minah sering melakukan KDRT
padanya. Bu Minah rupanya tidak tahu harus tinggal dimana, maka dengan terpaksa
dia tinggal di rumah tua tersebut. Hatiku sedikit lega mendengar pengakuan Bu
Minah. Mucul bertubi-tubi pertanyaan dari diriku sendiri. Siapa sebenarnya
suara yang setiap malam kudengar. Aku lalu memberanikan diri bertanya kepada Bu
Minah.
“Lalu
apakah suara mesin jahit yang kudengar
setiap malam adalah suara dari Anda?”
“Ya,
kebetulan saya menemukan mesin jahit didalam rumah ini, lalu saya membuat baju
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami” Jawabnya menjelaskan.
“Lantas
suara tangisan yang pernah aku dengar malam lalu itu apa berasal dari sini?”
tanyaku penasaran.
“Sepertinya
itu suara tangisan Mira, sudah dua hari
kami tidak makan apa pun, kemarin malam rupanya dia terbangun kelaparan, namun
kami tidak memiliki makanan sehingga Mira menangis” Jelas Bu Minah sambil
memeluk anaknya dengan kasih sayang.
Mendengar
penjelasan Bu Minah hatiku menjdi lega. Selama ini hantu rumah tua hanya bualan
semata. Greyson tergugah hatinya, dia
pulang kerumah, mengambil beberapa pakaian dan makanan lalu kembali ke rumah
tua, untuk memberikan pada Bu Minah, Bu Minah sangat senang. Kedua anaknya
segera melahap semua makanan dengan bersemangat saking kelaparannya
berhari-hari tidak makan nasi.
Hari
ini semua misteri telah terpecahkan tidak ada lagi rasa takut yang menyelimuti
hari-hari ku. Sore ini aku sedang duduk berdua di sebuah taman, aku duduk di samping
Greyson.
“Nelsa, apakah kau masih ingat tentang kasus
rumah angker minggu lalu?” tanya Greyson padaku.
“Tentu saja aku masih ingat, kasus tentang suami KDRT kepada istrinya itu kan?”
jawabku.
“Yaps, benar sekali.”
“Aku tidak menyangka, jika ada seorang suami seperti itu. Suami yang sangat
jahat, yang tega memperlakukan istrinya seperti itu. Tugas seorang suami adalah
menjaga dan melindungi istrinya, tapi ia malah membunuh istrinya” Ucapku dengan
kesal.
“Tenang, Nelsa. Jika aku menjadi suamimu nanti, aku janji akan selalu menjagamu
dan menyayangimu dengan tulus sampai akhir hayat nanti” Ucap Greyson dengan
gayanya yang sok cool itu, kemudian
ia mencolek daguku dan langsung berlari menjauhiku.
“What? Apa kau bilang tadi? Dasar
kau, kemari kau, akan kuhajar kau habis-habisan.” Ancamku sambil berlari
mengejar Grey . Sore itu merupakan sore yang menyenangkan bagiku,
berkejar-kejaran dengan Grey membuat sebuah senyuman senang tersungging di
sudut bibirku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar